Prasasti Sukawana AI
Prasasti Sukawana AI
Raja/Ratu Tidak Disebutkan
Tahun çaka 804 (882 M)
Bidang : Tembaga (Tamra Prasasti)
Aksara : Bali Kuna
Bahasa : Bali Kuna
======================================
ALIH AKSARA :
Laporan Penelitian Arkeologi Prasasti Sukawana, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli
I Gusti Made Suarbhawa, I Nyoman Sunarya, I Wayan Sumerata, Luh Suwita Utami
Balai Arkeologi Denpasar 2013
Lempeng 1B
1. yumu pakatahu, sarbwa kiha, dinganga prajuna, nāyakan makarun kumpi anan, mañuratang ājñā danañjaya, pircintayangku mān tua ulan di bukit
2. cintamani mmal, tanyada husir yya anak atar jalan katba kadahulu, tua hetu syuruhku senāpati danda kumpi marodaya me bhikṣu çiwakangçi
3. ta, çiwanirmmala, çiwaprajñā, banguněn partapānān satra di kathan buru, çimayangña hangga tingkad karuh, hangga puhpuhan kadya, angga rua(ng) kangin,
4. hangga tukad ye kalod, anada tua bhiksu grama musirang ya marumah ditu, tani kabakatěn laku langkah kayu tringtihing tanggung, yathākŗtya bsar sěnhi,
5. matuluang jaja, makmit dŗbya haji, pamahen pamli prakāra, mamatek papan, matkap bantilan, lañcang perahu, mangrapuh, mangharañi, manutu, tika
Lempeng 2A
1. san mangikět, mangnila, mamangkudu, marundan, nāyakan buru hānan, tikasan prakāra, me tani dudukyan hulun, me karambo, sampi, besa
2. ra, kambing, culung, sukět, buru babi, pañcayan, dakěr, puruh, asu, uņdahagi rumah, lāgad pasar, parsangkha, parpadaha, balian, pamuku
3. l tangkalik di hasba, katandasan di ŗgěpna tarub, blindarah, tandayan, sambar, tua kabakatyañña, bilang tandaga 1 tapa haji pasang gu
4. ņung mās māsaka 1, partyakşuña kupang 1, pabharu di tapa haji kupang 2, partyakşuña kupang 1, ana uparata ta anak marumah ditu, bhikşu angça sadāyā(dya)
5. ña, suddha ganitriña, mas mā 2 dihadiri, ana grama ya, angça sadāyā(dya)ña, angça krāngan, marburuktanahěn ya mās māsaka 4 dihadiri, a
Lempeng 2B
1. na krāngan mabalu ya, suhunan tanggungan ulihangen humatur dŗbyaña prakāra, maruhani dua bhagi haturangña, babini habhagi haturangnā, ana krangan
2. ampung ya, marang hadan padangayañña yabaña marumah ditu, mās, pirak kangça bhajaņa, tambra bhajaņa, hulun rbwang, karambo sampi, mulyan mā
3. saka 4 alapan marhantuangña, sesan yalapna marhantuangña panekěn di hyang api, kajadyan atithi, an an huma, parlak, padang, ngma
4. l, kajadyan tmuan hyang tanda, tathāpi tua bilang panekěn ditu di satra pyuņyanangku, kajadyan pamli pulu, tikěr, pangjakanyan, anak pati
5. kěrn, anak atar jalan almangěn, ya karma, tani kasiddhan tu anak matkap diburu, dyāngça sadayadya, dyangça krangan, turut sahāyaña
Lempeng 3A
1. makasupratibaddha sanggarugyan ya ājñā, syuhunang manuratang ājñā sadyasiwa, turun di panglapuan di singhamandawa, di bulan māgha çukla pratipāda, rggas pasar wi
2. jayapura, di saka 804, kilagiña di putthagin ājñā //o//
ALIH BAHASA :
I Nyoman Kurniawan
Katyagan Dharmakirti 2024
Lempeng 1B
Kamu semua harus tahu, pejabat (Senapati) Sarbwa yaitu Kiha, pejabat (Senapati) Dinganga yaitu Prajuna, pejabat Nayakan Makarun yaitu Kumpi Anan, serta pejabat Manyuratang Ajna yaitu Dananjaya.
Yang menjadi pemikiranku adalah ulan (tempat suci) di tegalan di Bukit Cintamani. Tidak ada tempat peristirahatan (dan tempat bermalam) bagi orang-orang yang melakukan perjalanan ke hilir dan ke hulu (orang yang melakukan perjalanan antar daerah).
Itulah sebabnya aku perintahkan pejabat Senapati Danda yaitu Kumpi Marodaya, beserta para Bhiksu yaitu Shiwa Kangsita, Shiwa Nirmala dan Shiwa Prajna, untuk membuat bangunan-bangunan tempat pertapaan dan sekaligus pesanggrahan (rest area), di dalam wilayah perburuan tersebut.
Batas wilayah tanah sima-nya, yaitu sampai Tingkad batas baratnya, sampai Puhpuhan batas utaranya, sampai Rua(ng) batas timurnya dan sampai Tukad Ye (Sungai Ye) batas selatannya.
Jika ada Bhiksu yang sudah menikah, datang dia berumah (bertempat tinggal) disana, tidak dikenai kewajiban kerja bhakti mengangkut kayu atau bambu, kegiatan kerja bhakti besar atau kecil, membuat jajan dan tidak dikenai kewajiban untuk menjaga drbya haji (milik raja).
Tidak dikenai cukai jual beli dan semacamnya, dalam (mata pencaharian) membuat papan kayu, membuat wantilan, membuat lancang (kapal berukuran besar), membuat perahu (kapal berukuran sedang), membuat kapur, membuat arang, serta menumbuk padi.
Tidak dikenai tikasan (sejenis pajak)
Lempeng 2A
dalam (mata pencaharian) mangiket (menenun tenun ikat), mangnila (mewarnai kain dengan warna biru tua), mamangkudu (mewarnai kain dengan warna merah marun), serta marundan (memintal kapas menjadi benang).
Tidak dikenai tikasan (sejenis pajak) untuk pejabat Nayakan Buru dan segala jenis tikasan sejenis itu.
Tidak dikenai pajak memiliki pelayan, serta pajak dalam (mata pencaharian) beternak kerbau, sapi, besara, kambing, babi, suket, babi hutan, pancayan, burung daker, burung puyuh dan anjing.
Tidak dikenai pajak jika menjadi tukang pembuat rumah dan pembuat lagad pasar (balai tempat berjualan di pasar), peniup sangkha (terompet kerang), pemain kendang, balian (pemuput upacara di tempat suci), penabuh gamelan dan peternak kuda.
Untuk setiap kepala keluarga, dikenai iuran tarub, blindarah, tandayan dan sambar. Demikianlah kewajibannya.
Untuk setiap 1 tandaga dari tempat pertapaan raja dikenai pajak pasang gunung sebanyak 1 emas masaka dan untuk para pejabat pengawasnya sebanyak 1 kupang.
Dikenai iuran pabharu untuk tempat pertapaan raja sebanyak 2 kupang dan untuk para pejabat pengawasnya sebanyak 1 kupang.
Jika ada meninggal orang yang berumah (bertempat tinggal) disana, Bhiksu yang memiliki keturunan, Bhiksu suddha ganitriña (tidak menikah), biaya (untuk penguburannya) sebanyak 2 emas masaka untuk setiap orang.
Untuk orang yang sudah menikah, yang memiliki keturunan, yang tidak memiliki keturunan, biaya untuk penguburannya sebanyak 4 emas masaka untuk setiap orang.
Lempeng 2B
Jika ada orang yang menjadi balu (duda atau janda), dengan sistem suhunan dan tanggungan agar diatur semua miliknya (warisannya). Suaminya (dudanya) mendapat dua bagian dan istrinya (jandanya) mendapat satu bagian.
Jika seseorang tidak memiliki keturunan dan tidak memiliki keluarga, semua harta benda yang dibawa berumah (bertempat tinggal) disana berupa emas, perak, bejana perunggu, bejana tembaga, pelayan, kerbau dan sapi, sebanyak 4 masaka diambil untuk upacara kematiannya. Sisa dari yang diambil untuk upacara kematiannya, dihaturkan di tempat suci Hyang Api, untuk dijadikan persembahan atithi. Jika dia memiliki sawah, ladang, padang rumput dan tegalan, dijadikan persembahan temwan untuk tempat suci Hyang Tanda. Tetapi semua hasilnya agar dihaturkan di pesanggrahan (rest area) sumbanganku. Untuk dipakai membeli tempayan, tikar, serta bahan masakan (bahan makanan) di pesanggrahan sumbanganku. Untuk orang yang tidak punya tikar, untuk orang yang melakukan perjalanan antar daerah dan kemalaman.
Demikian ketetapannya. Tidak diperbolehkan orang dari luar desa yang bekerja di wilayah perburuan, keluarga yang memiliki keturunan, keluarga yang tidak memiliki keturunan, beserta semua pelayan mereka,
Lempeng 3A
merintangi atau melanggar perintah raja.
Ditugaskan pada pejabat Manyuratang Ajna yaitu Sadya Shiwa.
Diturunkan di Panglapuan di Singhamandawa, pada bulan magha (desember s/d januari), paruh terang (menuju purnama) hari pertama, pada hari pasaran wijayapura, pada tahun çaka 804 (tahun 882 M), itulah saatnya dituliskan sebagai (prasasti) perintah raja.
TEMPAT YANG MASIH BISA DIKENALI
1. Ulan di Bukit Cintamani (tempat suci di Bukit Cintamani) = sekarang adalah Pura Pucak Penulisan.
2. Bukit Cintamani = sekarang adalah Bukit Penulisan.
KETERANGAN
1. (Senapati) Sarbwa = pejabat tinggi setingkat menteri.
2. (Senapati) Dinganga = pejabat tinggi setingkat menteri.
3. Manyuratang Ajna = juru tulis raja/ratu.
4. Senapati Danda = pejabat tinggi setingkat menteri.
5. Satra = tempat pertapaan sekaligus pesanggrahan (tempat istirahat dan bermalam) bagi orang yang melakukan perjalanan antar daerah.
6. Tanah sima = suatu desa dimana penduduknya dibebaskan dari (sebagian atau seluruh) pajak. Sebagai timbal baliknya, penduduk desa itu diberikan suatu tugas atau kewajiban. Dimana pada umumnya, tugas atau kewajibannya adalah mengurus tempat suci di wilayah desa tersebut, yang merupakan cara raja/ratu Kerajaan Bali Dwipa untuk mengurus tempat suci dan mengatur pembiayaannya.
7. Mangiket = suatu tehnik menenun kain, yang biasa disebut tenun ikat. Dimana pertama benang terlebih dahulu diberi berbagai warna. Kemudian benang yang sudah diwarnai, ditenun menjadi kain dengan berbagai ragam pola yang indah.
8. Mangnila = suatu proses mewarnai kain putih polos dengan warna biru tua.
9. Mamangkudu = suatu proses mewarnai kain putih polos dengan warna merah marun.
10. Marundan = suatu proses memintal kapas sehingga menjadi benang (sebagai bahan pembuatan kain).
11. Tarub = suatu iuran (urunan wajib) untuk keperluan upacara.
12. Blindarah = suatu iuran (urunan wajib) untuk keperluan upacara.
13. Tandayan = suatu iuran (urunan wajib) untuk keperluan upacara.
14. Sambar = suatu iuran (urunan wajib) untuk keperluan upacara.
15. Undahagi rumah = tukang ahli pembuat rumah.
16. Parsangkha = peniup terompet kerang.
17. Parpadaha = pemain kendang.
18. Balian = pada jaman ini, Balian adalah pemuput upacara di tempat suci. Berbeda dengan pengertian Balian pada jaman sekarang.
19. Pamukul = penabuh gamelan.
20. Tangkalik di Hasba = peternak kuda (alat transportasi utama jaman ini).
21. Nayakan Buru = pejabat dalam pengaturan urusan berburu.
22. Tandaga = suatu ukuran dalam irigasi air.
23. Pasang gunung = pajak irigasi air.
24. Masaka / emas masaka = mata uang koin emas.
25. Kupang = mata uang koin perak yang nilainya 1/4 nilai masaka.
26. Suddha ganitrina = Bhiksu brahmacari, seumur hidupnya tidak menikah.
27. Suhunan tanggungan = suatu sistem cara pembagian warisan.
28. Panglapuan = kantor kerajaan berupa wantilan.
ULASAN PRASASTI
Pura Pucak Penulisan |
Prasasti Sukawana AI tahun 882 M, berisi catatan peristiwa sejarah, tentang kepedulian raja/ratu (tidak menyebut namanya) karena tidak adanya tempat peristirahatan dan tempat bermalam bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antar daerah, di ulan (tempat suci) di Bukit Cintamani.
Oleh sebab itu, diberilah tugas kepada pejabat Senapati Danda yaitu Kumpi Marodaya, beserta Bhiksu Shiwa Kangsita, Bhiksu Shiwa Nirmala dan Bhiksu Shiwa Prajna, untuk memimpin pembangunan tempat pertapaan dan sekaligus pesanggrahan (rest area) di tempat suci di Bukit Cintamani. Agar ada tempat untuk beristirahat dan bermalam bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antar daerah.
Raja/ratu (tidak menyebut namanya) juga memberi anugerah sebagai tanah sima, yang disertai pembebasan beberapa jenis pajak/cukai/iuran, serta ketetapan menyangkut kewajibannya.
Berdasarkan catatan prasasti, kita mengetahui bahwa raja/ratu Kerajaan Bali Dwipa memberi banyak perhatian dalam pembangunan infrastruktur transportasi darat. Dengan mengatur perawatan jalan-jalan raya antar daerah, serta membangun banyak satra (pesanggrahan). Pesanggrahan ini menjadi satu dengan tempat pertapaan, yang diberikan anugerah tanah sima (daerah bebas pajak) oleh raja/ratu. Dimana para Bhiksu di tempat pertapaan tersebut, memiliki kewajiban untuk melayani dan mengurus orang yang singgah untuk beristirahat dan bermalam disana.
Pentingnya pembangunan satra (pesanggrahan) pada jaman itu, tentu karena suasana malam sangat gelap (belum ada lampu penerang jalan) dan masih banyak binatang buas seperti harimau, macan, babi hutan, ular, dsb-nya.
Hal ini menunjukkan orang Bali memiliki mobilitas tinggi dalam melakukan perjalanan antar daerah. Selain berjalan kaki, alat transportasi yang umum adalah menaiki kuda. Karena dalam catatan prasasti banyak disebut tentang peternak kuda (tangkalik di hasba) dan pejabat yang mengatur urusan kuda (samgat asba, nayakan hasba, dsb-nya).
Pada jaman-jaman selanjutnya, ulan di Bukit Cintamani terus-menerus mengalami perkembangan dan menjadi salah satu tempat suci terpenting pada jaman Kerajaan Bali Dwipa.
Pada jaman sekarang, ulan di Bukit Cintamani adalah Pura Pucak Penulisan.
Penjelasan tentang raja/ratu yang tidak menyebut namanya ini, bisa dibaca dalam ulasan Prasasti Blanjong.
18 Maret 2024, I Nyoman Kurniawan